Tuesday, November 22, 2011

PAKAI BATIK, SIAPA TAKUT? PAKAI BATIK, WOW KEREN!


Oleh   : Mario Dumasessa Teterissa
NIM    : 1112003049

Bermula dari pendengaran yang tak sengaja terekam baik dalam pikiran, ingin rasanya untuk membahas masalah kesalahan pandangan generasi muda Indonesia, yang enggan atau malu mengakui kebudayaan bangsanya. Diharapkan, tulisan yang jauh dari kesempurnaan ini, dapat  membuka mata dan rasa generasi penerus bangsa ini, agar lebih menghargai kekayaan negerinya.
            Kamis, 04 Oktober 2011, pertama kalinya saya mengenakan batik ke kampus. Ada beberapa alasan saya mengapa hari itu saya mengenakan baju batik, diantaranya ;
·         Ingin tampil lebih rapi dari yang biasanya
·         Menjadi trendsetter bagi anak muda untuk bangga mengenakan baju batik yang adalah produk dalam negeri dan yang merupakan salah satu kekayaan budaya negeri ini
·         Menanamkan rasa cinta tanah air sedari muda, baik untuk saya maupun teman-teman
Namun, berbagai komentar dan pro-kontranya harus terdengar. Ada yang berkata, ”tumben,rapi banget? Mau kondangan,Mas?”. Ada pula yang mengatakan, ”wah, bagus juga batiknya, kayak Pak lurah!”. Yang saya heran, orang yang bukan berasal dari negeri ini yang pro dengan batik saya, dia mengatakan, “ saya suka batik yang kamu pakai itu”.
Dapat dikatakan bahwa tidak semua warga dari penduduk Indonesia kurang sadar atau peka terhadap batik, meskipun batik itu sendiri merupakan warisan dari leluhur negeri ini. Namun,apabila dari sepuluh orang Indonesia yang dapat dijumpai, berkata seperti diatas, sementara seorang turis asing yang melihat seseorang mengenakan batik, langsung mengapresiasinya, ada satu pertanyaan sebenarnya patut muncul, “ katanya orang Indonesia, tapi malu pake batik. Katanya bangga punya batik, tapi mau pake aja ngerasa serba salah. Lalu, yang layak jadi orang Indonesia, turis apa situ?”.
 Ada lagi cerita unik yang menggemaskan, mungkin lebih tepatnya menjengkelkan. Coba anda bayangkan, apabila orang-orang yang tidak menghargai batik tadi, ngamuk-ngamuk tanpa sebab saat ada negeri yang mengatakan bahkan mengaku-akui bahwa batik bukanlah milik Indonesia,tetapi milik negerinya,padahal UNESCO pun mengakui bahwa Indonesia adalah pemilik Batik, akan tetapi mereka mengenakan batik takut ditertawakan atau dicemooh, sangat ironi bukan? Ini baru satu contoh, dalam hal ini batik, bagaimana dengan Reog Ponorogo dan  yang lainnya? Alangkah lebih baik, bila kita tidak menunggu diporakporandakan dahulu, baru merasa risih. Tunjukkan bahwa kita bangga terhadap kebudayaan yang menjadi warisan nenek moyang dengan cara menjaga dan melestarikannya agar tidak hilang.
Untuk mengatasi masalah ini, saya berpendapat bahwa akan lebih baik kita menyikapi masalah ini lebih serius lagi. Karena saya yakin, jika masalah ini terus berlanjut sampai di kemudian hari, cepat atau lambat identitas bangsa kita akan dipertanyakan. Dan solusi yang dapat saya berikan untuk generasi zaman ini dan mendatang ialah ;           
1.      Tumbuhkan rasa cinta terhadap Indonesia, sedari usia dini ( TK dan SD) mungkin dengan cara memperkenalkan sejarah batik, bagaimana proses membatik, sampai terjun ke lapangan membuat batik, tentunya dengan pengawasan. Setidaknya, bila dari kecil mereka sudah mengagumi keindahan batik kita, tidak mustahil beberapa dekade ke depan, Indonesia akan kebanjiran desainer batik di tingkat dunia.
2.      Berikan pandangan positif terhadap semua karya bangsa ini, agar kedepannya mereka lebih mencintai produk domestik dibandingkan dengan produk luar
3.      Jangan menjatuhkan perasaan bangga seseorang terhadap karya negeri ini. Kalau anda termasuk orang yang sering melakukan hal yang demikian, ada baiknya anda tanyakan kepada diri anda sendiri, pantaskah anda tinggal di rumah seseorang, namun anda menjelek-jelekan citra pemilik rumah yang anda tumpangi kepada orang banyak?
4.      Jangan menunggu menjadi teladan bagi semua. Mungkin pertama- tama anda akan merasa sedikit risih dengan berbagai komentar, tetapi ketahuilah bahwa ini adalah awal usaha kita membangun identitas nasional kita yang semakin luntur apabila tak dicari jalan keluarnya.
5.      Saring apa yang kita dengar dan rasakan. Tak perlu mempedulikan tanggapan negatif terlalu serius. Cukup mengambil sisi positif yang dapat anda kontribusikan untuk bangsa ini dan merealisasikannya dengan aksi yang anda lakukan.
6.      Menumbuhkan rasa kecintaan terhadap Indonesia bukan berarti kita tertutup untuk dunia luar yang malah mempersempit wawasan kita. Jadilah generasi yang cinta Indonesia, tahu apa yang teraktual dan tetap berwawasan luas.
Sebagai mahasiswa Teknik Industri, saya berharap agar generasi muda Indonesia dapat tumbuh dan berkembang serta membangun karakter yang dibutuhkan untuk memimpin negeri ini. Menumbuhkembangkan kemampuan pribadi, baik secara akademik maupun nonakademik. Namun satu hal yang perlu diingat, menonjolnya kita nanti jangan sampai menimbulkan kesombongan pada diri kita sendiri. Justru dari sanalah kita berangkat membangun karakter yang cerdas dan arif.

Selain dari segi intelektual, moral dan jiwa nasionalisme tidak kalah penting untuk dimiliki oleh calon-calon pemimpin Indonesia supaya nanti saat mereka sukses, mereka mampu menjadi pemimpin yang baik dan tidak melupakan di mana tempat dan dari mana asal mereka meraih kesuksesan itu yakni, Indonesia. Contoh sederhana yang dapat saya lakukan sebagai proses awal pembentukan karakter pemimpin yang berjiwa nasional adalah dengan mengenakan batik sehari dalam seminggu di hari tertentu, mengajak satu-duaorang, teman-teman satu jurusan, bahkan di satu kampus untuk berkomitmen melakukan hal yang sama. Memang sebelum saya masuk ke dunia perkuliahan, khususnya Universitas Bakrie, kampus di mana saya berkuliah, saya mendengar bahwa setiap hari Kamis ada peraturan yang sifatnya mengajak anak muda untuk mengenakan batik di hari Kamis atau biasa kami sebut MISTIK – Kamis Batik. Namun, saya merasa semua ini masih kurang dengan masih adanya mahasiswa yang belum mengindahkan peraturan tersebut. Untuk itu, saya terus mengajak mereka dan itu akan tetap saya lakukan, karena tujuan dan sasaran utama saya adalah ingin menumbuhkan rasa bangga akan kekayaan karya negeri ini di setiap sanubari generasi penerus Indonesia.Bukan hanya untuk saya, atau pun kelompok saya saja, tetapi juga menjadi dampak positif yang besar khususnya untuk generasi muda Indonesia.
Biarlah ini menjadi tugas bersama yang harus kita selesaikan bersama agar bangsa Indonesia tidak kehilangan identitas nasional dirinya.
PAKAI BATIK,SIAPA TAKUT? PAKAI BATIK, WOW KEREN!

Pasang surut Hubungan Indonesia dan Malaysia


Indonesia dan Malaysia adalah negara tetangga yang dibatasi oleh Selat Malaka di Malaysia Barat dan Kalimantan Utara di Malaysia Timur. Indonesia memiliki hubugan paling erat dengan Malaysia dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Dalam hal sejarah, Malaysia berdiri karena adanya kerajaan Malaka, dan pendiri kerajaan Malaka adalah seorang pangeran dari kerajaan Sriwijaya (sekarang Palembang, Sumatera Selatan). Indonesia dan Malaysia merupakan negara serumpun yang merupakan etnis yang sama dan bisa dikatakan sebagai saudara kandung baik bahasa maupun kesamaan ciri-ciri fisik, selain dengan Malaysia, Indonesia juga serumpun dengan Filipina dan Brunei Darussalam. Selayaknya kehidupan bertetangga, hubungan Indonesia dan Malaysia mengalami pasang surut.
Indonesia dan Malaysia melakukan banyak hubungan bilateral di berbagai bidang, seperti: Politik, Militer dan Pertahanan, Ekonomi dan Investasi, Perdagangan, Perhubungan, dan Penerangan Sosial Budaya. Selain itu Indonesia dan Malaysia, bersama-sama dengan Singapura, Thailand, dan Filipina, mendirikan ASEAN (Association of South East Asian Nation) pada tahun 1967 yakni organisasi regional untuk wilayah Asia Tenggara yang sekarang beranggotakan seluruh negara di Asia Tenggara (kecuali Timor Leste dan Papua Nugini). Presiden Susilo Bambang Yuhoyono menyampaikan dalam pidato beliau mengenai dinamika hubungan Indonesia Malaysia, bahwa Hubungan Indonesia dan Malaysia memiliki cakupan yang luas, yang semuanya berkaitan dengan kepentingan nasional dan kepentingan rakyat. Ada sekitar 2 juta rakyat Indonesia yang bekerja di Malaysia, di perusahaan, di pertanian, dan di berbagai lapangan pekerjaan. Ini adalah jumlah tenaga kerja Indonesia yang terbesar di luar negeri. Tentu saja keberadaan tenaga kerja Indonesia di Malaysia membawa keuntungan bersama, baik bagi Indonesia maupun Malaysia. Sementara itu, sekitar 13,000 pelajar dan mahasiswa Indonesia belajar di Malaysia, dan 6,000 mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia. Ini merupakan asset bangsa yang harus terus dibina bersama, dan juga modal kemitraan di masa depan. Dalam bidang pariwisata, Wisatawan Malaysia yang berkunjung ke Indonesia adalah ketiga terbesar dengan jumlah 1,18 juta orang, dari total 6,3 juta wisatawan mancanegara. Investasi Malaysia di Indonesia 5 tahun terakhir (2005-2009) adalah 285 proyek investasi, berjumlah US$ 1.2 miliar, dan investasi Indonesia di Malaysia berjumlah US$ 534 juta. Jumlah perdagangan kedua negara telah mencapai US$ 11,4 Miliar pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan ekonomi Indonesia–Malaysia sungguh kuat.1
Hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia yang kuat bukan berarti tidak ada permasalahan, justru semakin kuat suatu hubungan akan semakin banyak masalah yang akan dihadapi. Masalah utama yang masih sering terjadi dan belum di temukan solusi terbaiknya adalah masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Permasalah itu berupa, banyak TKI yang tidak mendapatkan haknya, seperti gaji yang sering ditunda dan tidak diberi hari libur, lalu tindak kekerasan yang dilakukan oleh majikan yang sangat tidak manusiawi dan melanggar Hak Asasi Manusia. Migrant Care mencatat sedikitnya terdapat 10 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) meninggal dunia akibat disiksa oleh majikannya selama 2007-2011.2
Masalah lain yaitu masalah perbatasan wilayah kedua negara dan pengklaiman pulau-pulau terluar Indonesia. Masalah mengenai perbatasan wilayah yang paling menyorot perhatian dunia Internasional adalah ketika Malaysia melakukan pengklaiman Pulau Sipadan dan Ligitan yang merupakan pulau kecil di perairan dekat kawasan pantai negara bagian Sabah dan Provinsi Kalimantan Timur sebagai wilayah mereka. Masalah ini berlangsung selama lebih dari tiga dekade dan karena tak kunjung mendapatkan solusi setelah dilakukan perundingan bilateral akhirnya permasalahan tersebut diserahkan kepada Mahkamah Internasional. Pada tahun 2002, Mahkamah Internasional (MI) di Den Haag, Belanda memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan wilayah Malaysia.3
Sebenarnya, konflik antara Indonesia dan Malaysia sudah berlangsung sejak pemerintahan presiden Soekarno (dikenal dengan Konfrontasi Indonesia-Malaysia) yaitu ketika keinginan Federasi Malaya lebih dikenali sebagai Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961 untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak kedalam Federasi Malaysia yang tidak sesuai dengan Persetujuan Manila, oleh karena itu keinginan tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia yang sekarang dikenal sebagai Malaysia sebagai "boneka Inggris" merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia.4  “Ganyang Malaysia” adalah kata-kata yang diucapkan dalam pidato Presiden Soekarno yang membakar semangat patriotisme rakyat Indonesia.
Ekspresi ketidaksukaan baik dari pihak Indonesia maupun Malaysia dilampiaskan dalam dunia maya. Indonesia menyebut Malaysia sebagai “Malingsia” karena beberapa kali mengklaim kebudayaan-kebudayaan asli Indonesia sebagai kebudayaan mereka, seperti Reog Ponorogo,lagu daerah Maluku Rasa Sayange, dan masuknya Tari Pendet ke dalam acara promosi Malaysia oleh Discovery Channel. Sedangkan Malaysia menyebut Indonesia sebagai “Indon” karena mereka menggangap bahwa orang-orang Indonesia yang tinggal di sana merupakan sumber keonaran dan prilaku tidak beradab.5 Konflik tersebut meluas ke ranah kompetisi antarnegara, seperti kompetisi sepak bola piala AFF (Asean Football Federation), Tim Nasional Indonesia hanya puas menjadi runner-up setelah dikalahkan Tim Nasional Malaysia. Adanya supporter Malaysia yang melakukan tindakan tidak sportif menyulut kemarahan rakyat Indonesia yang berujung pada perang mulut melalui jejaring sosial. Kejadian itu mereda setelah ajang AFF selesai namun diselenggarakannya pesta olahraga se-Asia Tenggara atau SEA GAMES tanggal 11-23 November 2011 di Jakarta dan Palembang kembali menyulut konflik yang mereda tersebut. Pasalnya, muncul akun twitter baru yaitu @MALAYSIA_JAYA yang justru berisi kata-kata tidak pantas yang ditujukan kepada Indonesia bukannya berita-berita yang berisi informasi seputar SEA GAMES kepada masyarakat Malaysia.
Berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia yang berhubungan dengan negara tetangga Malaysia harus ditindaklanjuti dengan serius. Perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan segenap  masyarakat Indonesia dalam menyikapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut. Apa yang disampaikan Presiden SBY tentang memperjuangkan hak-hak TKI dengan cara memberikan perlindungan hukum yang dihadapi oleh tenaga kerja Indonesia di Malaysia, aktif melakukan langkah-langkah pendampingan dan advokasi hukum untuk memastikan mereka mendapatkan keadilan yang sebenar-benarnya, dan mendirikan sekolah bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia6 harus benar-benar dilaksanakan dengan tegas. Dalam hal batas wilayah, pemerintah harus segera melakukan perundingan dengan Malaysia dan menuntaskan kembali batas kedua negara baik batas darat, laut, maupun batas-batas yang berhubungan dengan negara lain seperti Singapura. Pemerintah juga harus melakukan tindakan tegas terhadap kebudayaan Indonesia dengan cara mulai membuat hak paten terhadap warisan budaya yang dimiliki bangsa, membuat program-program yang berorientasi pada pelestarian kebudayaan sehingga masyarakat Indonesia mengenali budayanya sendiri ditengah gempuran budaya barat, dan gencar melakukan promosi kebudayaan Indonesia ke dunia Internasional. Sebagai masyarakat Indonesia yang menjunjung nilai luhur Pancasila seharusnya dapat mengontrol emosi terhadap kata-kata provokatif, dapat menyikapinya dengan bijak, serta tidak melakukan tindakan berlebihan dan kekerasan. Kata-kata provokatif itu hendaknya dijadikan cerminan diri dan penyemangat agar segenap masyarakat Indonesia bersatu dan tidak terpecah belah untuk memajukan Indonesia ke arah yang lebih baik dan menunjukkan kepada mereka bahwa Indonesia bisa.

Refrensi:
1kbrikualalumpur.org, (2010), Pidato Presiden RI Mengenai  Dinamika Hubungan Indonesia-Malaysia, [online] available from: http://www.kbrikualalumpur.org/web/index.php?option=com_content&view=article&id=475:pidato-presiden-ri-mengenai-dinamika-hubungan-indonesia-malaysia&catid=58Sabtu  [accesed at 19 November 2011]
2nasional.inilah.com, (2011), 10 TKI Tewas Disiksa Majikan dalam Lima Tahun, [online] available from: http://nasional.inilah.com/read/detail/1649842/10-tki-tewas-disika-majikan-dalam-lima-tahun [accesed at 19 November 2011]
3wikipedia.org, (2011), Hubungan Indonesia dengan Malaysia, [online] available from: http://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan_Indonesia_dengan_Malaysia [accesed at 18 November 2011]
4wikipedia.org, (2011), Konfrontasi Indonesia-Malaysia, [online] available from: http://id.wikipedia.org/wiki/Konfrontasi_Indonesia-Malaysia [accesed at 18 November 2011]
5wikipedia.org, (2011), Sentimen anti-Malaysia di Indonesia, [online] available from: http://id.wikipedia.org/wiki/Sentimen_anti-Malaysia_di_Indonesia [accesed at 19 November 2011]
6kbrikualalumpur.org, (2010), Pidato Presiden RI Mengenai  Dinamika Hubungan Indonesia-Malaysia, [online] available from: http://www.kbrikualalumpur.org/web/index.php?option=com_content&view=article&id=475:pidato-presiden-ri-mengenai-dinamika-hubungan-indonesia-malaysia&catid=58Sabtu  [accesed at 19 November 2011]


Annisa Eka Rahma
1112003001
Teknik Industri

Dimana Pancasila Berada?


Judul di atas adalah kutipan dari pidato mantan Presiden Indonesia yang ke-3, Bpk. Prof. Dr. B.J. Habibie dalam rangka memperingati hari Kesaktian Pancasila, 1 Juni 2011. Pidato yang menginspirasi ini, telah membuat semua pihak untuk berfikir kembali tentang keberadaan pancasila yang sudah mulai dilupakan dan lunturnya nilai-nilai pancasila di era globalisasi ini. Lalu, apa itu globalisasi? Dalam pranala Wikipedia, didapatkan arti dari globalisasi sebagai berikut: “Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Sedangkan menurut Scholte, globalisasi terdiri dari beberapa definisi yaitu: Internasionalisasi, Liberalisasi, Universalisasi, Westernisasi, Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas.1 Dari penjelasan tersebut, dapat diidentifikasikan bahwa globalisasi adalah suatu proses penyatuan, pembauran dunia dan biasnya batas-batas geografi antar negara yang melahirkan adanya dunia yang satu. Globalisasi membuat segala informasi menjadi transparan dan tersebar hanya dalam hitungan detik. Kemajuan sarana komunikasi yang pesat, dan adanya jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Myspace menjadi pisau yang memiliki 2 sisi, di satu sisi memberikan kemudahan dan keuntungan namun di sisi lain dapat menjadi boomerang yang membahayakan. Namun, bagaimana kondisi Indonesia? Arus globalisasi yang sudah tidak dapat dihindari lagi belum membuat Indonesia sadar akan pentingnya sebuah pedoman yaitu Pancasila sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara. Celakanya, hingga kini Indonesia tidak memiliki visi dalam menghadapi globalisasi. Globalisasi hanya dilihat selayang pandang, belum pernah diurai bagaimana peluang dan tantangannya. Belum ada dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah sebagai acuan dalam menghadapi era globalisasi. Tidak ada analisis dan uraian memadai dalam rencana pembangunan(RPJM/RPJP) yang membahas globalisasi.2 Belum adanya tindakan tegas dari pemerintah dalam menyikapi globalisasi itu membuat pancasila semakin jauh dari masyarakat. Ironi memang, karena belakangan ini banyak kasus yang mengindikasikan bahwa nilai-nilai setiap sila mulai dilupakan oleh sebagian besar masyarakat.
                    Tahun ini, Indonesia dikejutkan dengan pemberitaan adanya pengeboman tempat-tempat ibadah. Pada tanggal 15 April 2011, terjadi pengeboman masjid di area kompleks Polresta Cirebon. Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Anton Bahrul Alam mengatakan, peristiwa ledakan itu terjadi pada pukul 12.17 saat Salat Jumat hendak dilakukan (takbiratul ikhram). Pelaku pengeboman tewas seketika. Diduga kuat korban yang tewas adalah orang yang membawa bom tersebut. Bom itu merupakan aksi bom bunuh diri. Selain menewaskan pelaku, 30 orang lainnya mengalami luka-luka.3 
Kejadian ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral Pancasila terutama sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu menurut pasal 29 ayat 2: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Seharusnya kejadian seperti itu tidak akan pernah terjadi kalau saja setiap orang memahami  dan mengaplikasikan nilai-nilai moral sila pertama yaitu menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama, menjadi bangsa yang berlandaskan pada ketuhanan, dan menekankan pada iman dan takwa.
                Lunturnya nilai-nilai Pancasila juga ditandai dengan maraknya pemberitaan di media massa tentang kemerosotan moral bangsa seperti terjadinya pembunuhan, pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan tindak kriminal lainnya. Berdasarkan hasil dokumentasi Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sejak 1998 hingga 2010, hampir sepertiga kasus kekerasan terhadap perempuan adalah kasus kekerasan seksual. Yakni 91.311 kasus dari total 295.836 kasus kekerasan.4 Selain itu, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak atau pelajar di DKI Jakarta meningkat. Terhitung sejak Januari hingga Maret ini mencapai 57 kasus. Kasus ini dialami oleh pelajar SD sebanyak 36 orang dan pelajar SMP sebanyak 21 orang.5 Kasus-kasus tersebut menjadi indikator bahwa  mulai banyak masyarakat yang melupakan Pancasila. Sebagai bangsa Indonesia seharusnya mampu menjadi bangsa yang beradab, berkeadilan, bermoral dan berakhlak mulia, seperti yang terkandung dalam sila ke-2 yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
                Kasus lain yang menjadi tolak ukur dilupakannya keberadaan Pancasila adalah kasus korupsi. Sudah tidak asing lagi jika mendengar tentang track record korupsi di Indonesia. Menurut hasil survei pelaku bisnis yang dirilis Senin, 8 Maret 2010 oleh perusahaan konsultan “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) yang berbasis di Hong Kong, Indonesia merupakan  negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis. Penilaian didasarkan atas pandangan ekskutif bisnis yang menjalankan usaha di 16 negara terpilih. Total responden adalah 2,174 dari berbagai kalangan eksekutif kelas menengah dan atas di Asia, Australia, dan Amerika Serikat.6 Parahnya kasus korupsi di Indonesia telah menjadi rahasia umum. Korupsi seperti sudah menjadi tradisi dari kalangan bawah sampai kalangan atas. Korupsi menunjukkan bahwa semakin banyak orang yang tidak peduli pada orang lain, yang hanya memikirkan keuntungan untuk dirinya dan golongannya, yang melupakan bahwa mereka bekerja untuk menyampaikan aspirasi rakyat dan mengedepankan kepentingan umum, contoh disini adalah wakil rakyat dan pejabat-pejabat tinggi pemerintahan. Pernah suatu ketika, salah satu stasiun televisi swasta Indonesia menayangkan acara reality show dalam rangka memperingati hari Kesaktian Pancasila. Host acara tersebut berkunjung ke gedung DPR dan meminta anggota DPR yang ditemuinya untuk membacakan Pancasila. Dan sungguh diluar dugaan, lebih dari 1 orang tidak dapat membacakan Pancasila dari sila pertama sampai kelima. Sangat miris jika mengetahui bahwa mereka adalah wakil rakyat yang berpendidikan tinggi namun melupakan dasar negaranya sendiri. Jika Pancasila saja mereka lupa bagaimana dengan nilai yang terkandung dalam setiap sila?
                Nilai Pancasila selanjutnya adalah musyawarah dan demokrasi yang merupakan refleksi dari sila ke-4 yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Indonesia menganut sistem demokrasi yang memberikan kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk berpartisipasi langsung dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Sayangnya, masih banyak rakyat yang tidak sadar akan pentingnya partisipasi mereka dalam pemilihan umum. Seperti yang diungkapkan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Barat, Dra.Endang Sulastri, Msi pada Workshop Peningkatan Partisipasi Masyarakat yang diselenggarakan oleh KPU Provinsi Jawa Barat di Gedung KPU Jabar, Jalan Garut, Kota Bandung, Kamis (20/10), partisipasi  masyarakat pemilih dalam pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 1999 hingga 2009 menunjukkan trend menurun hingga mencapai 20 persen.7 Padahal suara rakyat sangat diperlukan ditengah keberagaman suku, budaya, dan agama di Indonesia.
                Indikator mulai dilupakannya Pancasila adalah inkonsistensi penegakan hukum. Banyak orang bilang hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang dan jabatan. Seperti kasus pada tahun 2009 yang sempat menghebohkan negeri ini yaitu kasus nenek Minah dari Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas yang harus menghadapi masalah hukum hanya karena tiga biji kakao yang nilainya Rp 2.000. Akibat perbuatannya itu, nenek Minah dijerat pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dengan ancaman hukuman enam bulan penjara. Karena ancaman hukumannya hanya enam bulan, Minah pun tak perlu ditahan.8 Bandingkan dengan kasus-kasus korupsi yang merugikan uang negara senilai miliaran rupiah, seperti yang tercatat dalam laporan Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyambut tahun 2011, ada lima kasus berskala nasional yang proses hukumnya bergulir pada 2010, tapi masih menjadi tanda tanya besar karena belum tuntas hingga tahun berganti. Kasus itu adalah perkara sistem administrasi badan hukum (sis­minbakum), kasus Depsos, kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia (DGSBI) Miran­da Goeltom, kasus Gayus Tam­bunan dan kasus Bank Century.9 Dari kedua kasus tersebut, membuktikan bahwa aparat penegak hukum masih tebang pilih dalam menjatuhkan dakwaan, pemenang masih menjadi milik orang-orang yang berkuasa dan kaya raya. Padahal menurut pasal 27 ayat 1: segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, dan nilai sila ke-5 yang menekankan pada prinsip keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, sangat jelas menunjukkan kesetaraan dan keadilan semua masyarakat di depan hukum tanpa mempertimbangkan jabatan dan kekayaan tapi murni didasarkan pada kesalahan yang diperbuat. 
                Berbagai contoh kasus mulai lunturnya nilai-nilai Pancasila diatas seharusnya membuat semua pihak menyadari betapa pentingnya Pancasila sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara terutama dalam era globalisasi ini, yang segalanya berjalan dengan sangat cepat dan dinamis, tidak seharusnya pancasila dilupakan, pancasila harus dikembalikan menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, nilai-nilai pancasila harus dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien dalam kehidupan sehari-hari sehingga seluruh rakyat dapat merasakan keadilan dan kebenaran dalam menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila yang selanjutnya dapat membangun rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang kuat. Terciptanya rasa persatuan dan kesatuan yang bangsa yang didasarkan pada sikap toleransi, kemajemukan, kesetaraan dapat menjadi perekat dalam mengatasi berbagai konflik. Diimplementasikannya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam eksekutif, legislatif, maupun yudikatif akan memberikan kepercayaan, sehingga Pancasila benar-benar menjadi landasan etika dan moral bagi setiap penyelenggara negara dan komponen bangsa lainnya. Kalau sudah begitu, Indonesia akan sangat siap untuk menghadapi globalisasi

Oleh : Anissa Eka Rahma