Tuesday, January 3, 2012

The Dosen Phenomenon


10% dana yang memaju-mundurkan pembangunan di Indonesia
(ditulis oleh Ahdiyatul Muamaliyah)

Berita bahwa pembangunan di Indonesia tidak merata sudah terasa kuno didengar. Namun pernahkah Anda mendengar bahwa pembangunan di Indonesia hanya maju mundur?
Indonesia bercita-cita untuk membangun masyarakat madani. Menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif individu dan masyarakat berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang, dan bukan nafsu atau keinginan individu.[1] Namun bagaimana bila pelaksanaan proyek pemerintah malah menjadi sasaran empuk untuk memuaskan nafsu atau keinginan individu?
Dalam suatu rapat pemerintah daerah, siapapun mereka yang mengajukan usulan untuk membangun atau memperbaiki program, infrastruktur daerah, atau fasilitas umum, akan mendapatkan uang komisi sebagai penghargaan karena dianggap telah menyampaikan aspirasi rakyat. Tentunya uang komisi yang diberikan tidaklah sedikit. Setidaknya uang tersebut bisa mereka gunakan untuk membeli kebutuhan sekunder atau bahkan tersier. Namun bagi mereka yang merasa tak puas dengan uang komisi yang diberikan, mereka akan mencari kesempatan untuk mendapatkan uang lebih -walau dengan cara yang kotor- untuk memuaskan nafsu mereka. Sayangnya, manusia takkan pernah puas.
Ketika ada program pembangunan atau perbaikan infrastruktur, beberapa orang yang berkutat di dalamnya menganggap hal itu sebagai lahan menuai rejeki. Bukannya menjaga amanah yang diberikan, mereka yang dipercaya untuk menangani program pembangunan tersebut malah mencari kesempatan untuk mengambil 10 % uang anggaran proyek baik itu dengan jalan mark up ataupun pemalsuan bukti transaksi. Di lingkungan birokrasi pemerintahan, mereka disebut sebagai ‘Dosen’ (Sedoso Persen). Sedoso adalah bahasa Jawa yang artinya sepuluh. Angka 10% sangatlah besar karena dana proyek bukanlah bernilai puluhan juta lagi, melainkan milyaran. Maka jangan heran bila APBN Indonesia selalu tergerus arus keserakahan warganya sendiri.
Para ‘Dosen’ sangat menyukai proyek pemerintah yang besar. Misalnya ketika ada proyek pembangunan jalan, dana yang digunakan dalam pelaksanaan proyek itu mereka mark up atau bukti transaksinya akan mereka palsukan. Dana yang tertera dalam proposal proyek akhirnya jauh lebih besar dari angka yang benar-benar digunakan dalam pembangunan.
Apa akibat dari pemalsuan data di proposal proyek tersebut?
Akibatnya, tokoh yang paling pusing dalam proyek itu adalah: kontraktor. Karena keterbatasan dana yang diberikan kepada kontraktor, akhirnya, mereka pun membelikan material yang kualitasnya biasa saja untuk meminimalisir dana yang terpakai. Akibatnya, kualitas jalan yang dibuat pun tak memenuhi standar. Jalan yang dibangun hanya akan bertahan maksimal 3-5 tahun. Setelah itu, jalan akan berlubang, retak, dan bergelombang. Hal itu akan membahayakan pengguna jalan. Kemudian pada saatnya nanti akan ada usulan untuk memperbaiki jalan tersebut. Jika usulan itu dipenuhi pemerintah tanpa mengoreksi proyek sebelumnya, ‘Dosen-dosen’ pun akan memanfaatkan kesempatan itu (lagi) untuk mengeruk untung.
Sutarmadji, Sekretaris PemDa Tegal mengatakan, “Itulah mengapa pembangunan di Indonesia hanya berjalan maju-mundur”.
Bangun, rusak, perbaiki, bangun lagi, rusak lagi, perbaiki lagi. Siklus itulah yang menimbulkan stagnasi dan tidak meratanya pembangunan di Indonesia. Pembangunan di Indonesia hanya bergerak maju mundur. Atau lebih tepatnya hanya berputar-putar dalam suatu siklus yang berubah menjadi lingkaran setan.
Bila diumpamakan, ‘Dosen’ di dalam tubuh pembangunan Indonesia bagaikan rayap yang menggerogoti kayu. Bila kayu terus dibiarkan tergerogoti tanpa adanya usaha pemberantasan, ya kita tinggal menunggu lapuknya saja.


Mengapa bisa terjadi fenomena ‘Dosen’di dalam tubuh birokrasi pemerintahan?
“Kriminalitas tidak hanya terjadi karena niat pelakunya, tetapi juga karena adanya kesempatan”. Begitulah Bang Napi selalu mengingatkan.
Lemahnya pengawasan pihak berwajib terhadap jalannya roda pemerintahan menjadikan kesempatan lebih lebar. Ditambah lagi dengan preferensi pemerintah pusat terhadap data yang ada. Pemerintah pusat hanya mengoreksi data tertulis tanpa melihat fakta yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu, jika kita ingin membasmi ‘Dosen-Dosen’ yang ada, maka harus ada usaha untuk menutup rapat kesempatan tersebut dengan cara meningkatkan kualitas dan kuantitas pengoreksian dan pengawasan terhadap proyek pemerintah. Dengan begitu, diharapkan dapat meminimalisir kecurangan yang ada.
Lebih jauh lagi, usaha pemberantasan ‘Dosen’ itu diharapkan dapat berperan aktif dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia. Karena jika setiap proyek pemerintah dananya terus digerogoti oleh ‘Dosen-Dosen’ yang ada, kemudian berakibat pada rendahnya kualitas hasil proyek, dan akhirnya berimbas pada kelancaran aktivitas masyarakat baik ekonomi, sosial dan budaya.
Jika fasilitas umum yang ada di Indonesia memadai dan nyaman digunakan, kelancaran aktivitas masyarakat pun dapat ditunjang. Hal ini berpengaruh juga terhadap penciptaan masyarakat madani karena untuk mewujudkan sebuah masyarakat madani, diperlukan prasyarat kondisi antara lain sistem politik yang demokratis, faktor pendidikan yang memadai bagi seluruh warganya, sehingga mereka tahu mana hak dan kewajibannya, penegakan supremasi hukum, ekonomi yang kuat, kondisi keamanan yang stabil dan nyaman, dan faktor-faktor lainnya.[2]
Apabila usaha pembasmian ‘Dosen’ telah dijalankan dengan baik, selanjutnya adalah tugas ahli teknik industri, bekerja sama dengan ahli teknik metalurgi untuk membuat suatu material yang tahan lama, tahan gempa, dan tahan terhadap cuaca buruk. Material ini nantinya digunakan dalam membangun fasilitas umum seperti jalan raya, jembatan, sekolah, sampai telepon umum. Dengan penggunaan material ini, diharapkan dapat meminimalisir pengeluaran pemerintah dalam membangun infrastruktur di Indonesia.


[1] Ubaedillah, A., dkk., (2011).  Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.  Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
[2] http://www.anneahira.com/pengertian-masyarakat-madani.htm (diakses pada tanggal 29 Desember 2011)

Tuesday, November 22, 2011

PAKAI BATIK, SIAPA TAKUT? PAKAI BATIK, WOW KEREN!


Oleh   : Mario Dumasessa Teterissa
NIM    : 1112003049

Bermula dari pendengaran yang tak sengaja terekam baik dalam pikiran, ingin rasanya untuk membahas masalah kesalahan pandangan generasi muda Indonesia, yang enggan atau malu mengakui kebudayaan bangsanya. Diharapkan, tulisan yang jauh dari kesempurnaan ini, dapat  membuka mata dan rasa generasi penerus bangsa ini, agar lebih menghargai kekayaan negerinya.
            Kamis, 04 Oktober 2011, pertama kalinya saya mengenakan batik ke kampus. Ada beberapa alasan saya mengapa hari itu saya mengenakan baju batik, diantaranya ;
·         Ingin tampil lebih rapi dari yang biasanya
·         Menjadi trendsetter bagi anak muda untuk bangga mengenakan baju batik yang adalah produk dalam negeri dan yang merupakan salah satu kekayaan budaya negeri ini
·         Menanamkan rasa cinta tanah air sedari muda, baik untuk saya maupun teman-teman
Namun, berbagai komentar dan pro-kontranya harus terdengar. Ada yang berkata, ”tumben,rapi banget? Mau kondangan,Mas?”. Ada pula yang mengatakan, ”wah, bagus juga batiknya, kayak Pak lurah!”. Yang saya heran, orang yang bukan berasal dari negeri ini yang pro dengan batik saya, dia mengatakan, “ saya suka batik yang kamu pakai itu”.
Dapat dikatakan bahwa tidak semua warga dari penduduk Indonesia kurang sadar atau peka terhadap batik, meskipun batik itu sendiri merupakan warisan dari leluhur negeri ini. Namun,apabila dari sepuluh orang Indonesia yang dapat dijumpai, berkata seperti diatas, sementara seorang turis asing yang melihat seseorang mengenakan batik, langsung mengapresiasinya, ada satu pertanyaan sebenarnya patut muncul, “ katanya orang Indonesia, tapi malu pake batik. Katanya bangga punya batik, tapi mau pake aja ngerasa serba salah. Lalu, yang layak jadi orang Indonesia, turis apa situ?”.
 Ada lagi cerita unik yang menggemaskan, mungkin lebih tepatnya menjengkelkan. Coba anda bayangkan, apabila orang-orang yang tidak menghargai batik tadi, ngamuk-ngamuk tanpa sebab saat ada negeri yang mengatakan bahkan mengaku-akui bahwa batik bukanlah milik Indonesia,tetapi milik negerinya,padahal UNESCO pun mengakui bahwa Indonesia adalah pemilik Batik, akan tetapi mereka mengenakan batik takut ditertawakan atau dicemooh, sangat ironi bukan? Ini baru satu contoh, dalam hal ini batik, bagaimana dengan Reog Ponorogo dan  yang lainnya? Alangkah lebih baik, bila kita tidak menunggu diporakporandakan dahulu, baru merasa risih. Tunjukkan bahwa kita bangga terhadap kebudayaan yang menjadi warisan nenek moyang dengan cara menjaga dan melestarikannya agar tidak hilang.
Untuk mengatasi masalah ini, saya berpendapat bahwa akan lebih baik kita menyikapi masalah ini lebih serius lagi. Karena saya yakin, jika masalah ini terus berlanjut sampai di kemudian hari, cepat atau lambat identitas bangsa kita akan dipertanyakan. Dan solusi yang dapat saya berikan untuk generasi zaman ini dan mendatang ialah ;           
1.      Tumbuhkan rasa cinta terhadap Indonesia, sedari usia dini ( TK dan SD) mungkin dengan cara memperkenalkan sejarah batik, bagaimana proses membatik, sampai terjun ke lapangan membuat batik, tentunya dengan pengawasan. Setidaknya, bila dari kecil mereka sudah mengagumi keindahan batik kita, tidak mustahil beberapa dekade ke depan, Indonesia akan kebanjiran desainer batik di tingkat dunia.
2.      Berikan pandangan positif terhadap semua karya bangsa ini, agar kedepannya mereka lebih mencintai produk domestik dibandingkan dengan produk luar
3.      Jangan menjatuhkan perasaan bangga seseorang terhadap karya negeri ini. Kalau anda termasuk orang yang sering melakukan hal yang demikian, ada baiknya anda tanyakan kepada diri anda sendiri, pantaskah anda tinggal di rumah seseorang, namun anda menjelek-jelekan citra pemilik rumah yang anda tumpangi kepada orang banyak?
4.      Jangan menunggu menjadi teladan bagi semua. Mungkin pertama- tama anda akan merasa sedikit risih dengan berbagai komentar, tetapi ketahuilah bahwa ini adalah awal usaha kita membangun identitas nasional kita yang semakin luntur apabila tak dicari jalan keluarnya.
5.      Saring apa yang kita dengar dan rasakan. Tak perlu mempedulikan tanggapan negatif terlalu serius. Cukup mengambil sisi positif yang dapat anda kontribusikan untuk bangsa ini dan merealisasikannya dengan aksi yang anda lakukan.
6.      Menumbuhkan rasa kecintaan terhadap Indonesia bukan berarti kita tertutup untuk dunia luar yang malah mempersempit wawasan kita. Jadilah generasi yang cinta Indonesia, tahu apa yang teraktual dan tetap berwawasan luas.
Sebagai mahasiswa Teknik Industri, saya berharap agar generasi muda Indonesia dapat tumbuh dan berkembang serta membangun karakter yang dibutuhkan untuk memimpin negeri ini. Menumbuhkembangkan kemampuan pribadi, baik secara akademik maupun nonakademik. Namun satu hal yang perlu diingat, menonjolnya kita nanti jangan sampai menimbulkan kesombongan pada diri kita sendiri. Justru dari sanalah kita berangkat membangun karakter yang cerdas dan arif.

Selain dari segi intelektual, moral dan jiwa nasionalisme tidak kalah penting untuk dimiliki oleh calon-calon pemimpin Indonesia supaya nanti saat mereka sukses, mereka mampu menjadi pemimpin yang baik dan tidak melupakan di mana tempat dan dari mana asal mereka meraih kesuksesan itu yakni, Indonesia. Contoh sederhana yang dapat saya lakukan sebagai proses awal pembentukan karakter pemimpin yang berjiwa nasional adalah dengan mengenakan batik sehari dalam seminggu di hari tertentu, mengajak satu-duaorang, teman-teman satu jurusan, bahkan di satu kampus untuk berkomitmen melakukan hal yang sama. Memang sebelum saya masuk ke dunia perkuliahan, khususnya Universitas Bakrie, kampus di mana saya berkuliah, saya mendengar bahwa setiap hari Kamis ada peraturan yang sifatnya mengajak anak muda untuk mengenakan batik di hari Kamis atau biasa kami sebut MISTIK – Kamis Batik. Namun, saya merasa semua ini masih kurang dengan masih adanya mahasiswa yang belum mengindahkan peraturan tersebut. Untuk itu, saya terus mengajak mereka dan itu akan tetap saya lakukan, karena tujuan dan sasaran utama saya adalah ingin menumbuhkan rasa bangga akan kekayaan karya negeri ini di setiap sanubari generasi penerus Indonesia.Bukan hanya untuk saya, atau pun kelompok saya saja, tetapi juga menjadi dampak positif yang besar khususnya untuk generasi muda Indonesia.
Biarlah ini menjadi tugas bersama yang harus kita selesaikan bersama agar bangsa Indonesia tidak kehilangan identitas nasional dirinya.
PAKAI BATIK,SIAPA TAKUT? PAKAI BATIK, WOW KEREN!

Pasang surut Hubungan Indonesia dan Malaysia


Indonesia dan Malaysia adalah negara tetangga yang dibatasi oleh Selat Malaka di Malaysia Barat dan Kalimantan Utara di Malaysia Timur. Indonesia memiliki hubugan paling erat dengan Malaysia dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Dalam hal sejarah, Malaysia berdiri karena adanya kerajaan Malaka, dan pendiri kerajaan Malaka adalah seorang pangeran dari kerajaan Sriwijaya (sekarang Palembang, Sumatera Selatan). Indonesia dan Malaysia merupakan negara serumpun yang merupakan etnis yang sama dan bisa dikatakan sebagai saudara kandung baik bahasa maupun kesamaan ciri-ciri fisik, selain dengan Malaysia, Indonesia juga serumpun dengan Filipina dan Brunei Darussalam. Selayaknya kehidupan bertetangga, hubungan Indonesia dan Malaysia mengalami pasang surut.
Indonesia dan Malaysia melakukan banyak hubungan bilateral di berbagai bidang, seperti: Politik, Militer dan Pertahanan, Ekonomi dan Investasi, Perdagangan, Perhubungan, dan Penerangan Sosial Budaya. Selain itu Indonesia dan Malaysia, bersama-sama dengan Singapura, Thailand, dan Filipina, mendirikan ASEAN (Association of South East Asian Nation) pada tahun 1967 yakni organisasi regional untuk wilayah Asia Tenggara yang sekarang beranggotakan seluruh negara di Asia Tenggara (kecuali Timor Leste dan Papua Nugini). Presiden Susilo Bambang Yuhoyono menyampaikan dalam pidato beliau mengenai dinamika hubungan Indonesia Malaysia, bahwa Hubungan Indonesia dan Malaysia memiliki cakupan yang luas, yang semuanya berkaitan dengan kepentingan nasional dan kepentingan rakyat. Ada sekitar 2 juta rakyat Indonesia yang bekerja di Malaysia, di perusahaan, di pertanian, dan di berbagai lapangan pekerjaan. Ini adalah jumlah tenaga kerja Indonesia yang terbesar di luar negeri. Tentu saja keberadaan tenaga kerja Indonesia di Malaysia membawa keuntungan bersama, baik bagi Indonesia maupun Malaysia. Sementara itu, sekitar 13,000 pelajar dan mahasiswa Indonesia belajar di Malaysia, dan 6,000 mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia. Ini merupakan asset bangsa yang harus terus dibina bersama, dan juga modal kemitraan di masa depan. Dalam bidang pariwisata, Wisatawan Malaysia yang berkunjung ke Indonesia adalah ketiga terbesar dengan jumlah 1,18 juta orang, dari total 6,3 juta wisatawan mancanegara. Investasi Malaysia di Indonesia 5 tahun terakhir (2005-2009) adalah 285 proyek investasi, berjumlah US$ 1.2 miliar, dan investasi Indonesia di Malaysia berjumlah US$ 534 juta. Jumlah perdagangan kedua negara telah mencapai US$ 11,4 Miliar pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan ekonomi Indonesia–Malaysia sungguh kuat.1
Hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia yang kuat bukan berarti tidak ada permasalahan, justru semakin kuat suatu hubungan akan semakin banyak masalah yang akan dihadapi. Masalah utama yang masih sering terjadi dan belum di temukan solusi terbaiknya adalah masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Permasalah itu berupa, banyak TKI yang tidak mendapatkan haknya, seperti gaji yang sering ditunda dan tidak diberi hari libur, lalu tindak kekerasan yang dilakukan oleh majikan yang sangat tidak manusiawi dan melanggar Hak Asasi Manusia. Migrant Care mencatat sedikitnya terdapat 10 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) meninggal dunia akibat disiksa oleh majikannya selama 2007-2011.2
Masalah lain yaitu masalah perbatasan wilayah kedua negara dan pengklaiman pulau-pulau terluar Indonesia. Masalah mengenai perbatasan wilayah yang paling menyorot perhatian dunia Internasional adalah ketika Malaysia melakukan pengklaiman Pulau Sipadan dan Ligitan yang merupakan pulau kecil di perairan dekat kawasan pantai negara bagian Sabah dan Provinsi Kalimantan Timur sebagai wilayah mereka. Masalah ini berlangsung selama lebih dari tiga dekade dan karena tak kunjung mendapatkan solusi setelah dilakukan perundingan bilateral akhirnya permasalahan tersebut diserahkan kepada Mahkamah Internasional. Pada tahun 2002, Mahkamah Internasional (MI) di Den Haag, Belanda memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan wilayah Malaysia.3
Sebenarnya, konflik antara Indonesia dan Malaysia sudah berlangsung sejak pemerintahan presiden Soekarno (dikenal dengan Konfrontasi Indonesia-Malaysia) yaitu ketika keinginan Federasi Malaya lebih dikenali sebagai Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961 untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak kedalam Federasi Malaysia yang tidak sesuai dengan Persetujuan Manila, oleh karena itu keinginan tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia yang sekarang dikenal sebagai Malaysia sebagai "boneka Inggris" merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia.4  “Ganyang Malaysia” adalah kata-kata yang diucapkan dalam pidato Presiden Soekarno yang membakar semangat patriotisme rakyat Indonesia.
Ekspresi ketidaksukaan baik dari pihak Indonesia maupun Malaysia dilampiaskan dalam dunia maya. Indonesia menyebut Malaysia sebagai “Malingsia” karena beberapa kali mengklaim kebudayaan-kebudayaan asli Indonesia sebagai kebudayaan mereka, seperti Reog Ponorogo,lagu daerah Maluku Rasa Sayange, dan masuknya Tari Pendet ke dalam acara promosi Malaysia oleh Discovery Channel. Sedangkan Malaysia menyebut Indonesia sebagai “Indon” karena mereka menggangap bahwa orang-orang Indonesia yang tinggal di sana merupakan sumber keonaran dan prilaku tidak beradab.5 Konflik tersebut meluas ke ranah kompetisi antarnegara, seperti kompetisi sepak bola piala AFF (Asean Football Federation), Tim Nasional Indonesia hanya puas menjadi runner-up setelah dikalahkan Tim Nasional Malaysia. Adanya supporter Malaysia yang melakukan tindakan tidak sportif menyulut kemarahan rakyat Indonesia yang berujung pada perang mulut melalui jejaring sosial. Kejadian itu mereda setelah ajang AFF selesai namun diselenggarakannya pesta olahraga se-Asia Tenggara atau SEA GAMES tanggal 11-23 November 2011 di Jakarta dan Palembang kembali menyulut konflik yang mereda tersebut. Pasalnya, muncul akun twitter baru yaitu @MALAYSIA_JAYA yang justru berisi kata-kata tidak pantas yang ditujukan kepada Indonesia bukannya berita-berita yang berisi informasi seputar SEA GAMES kepada masyarakat Malaysia.
Berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia yang berhubungan dengan negara tetangga Malaysia harus ditindaklanjuti dengan serius. Perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan segenap  masyarakat Indonesia dalam menyikapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut. Apa yang disampaikan Presiden SBY tentang memperjuangkan hak-hak TKI dengan cara memberikan perlindungan hukum yang dihadapi oleh tenaga kerja Indonesia di Malaysia, aktif melakukan langkah-langkah pendampingan dan advokasi hukum untuk memastikan mereka mendapatkan keadilan yang sebenar-benarnya, dan mendirikan sekolah bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia6 harus benar-benar dilaksanakan dengan tegas. Dalam hal batas wilayah, pemerintah harus segera melakukan perundingan dengan Malaysia dan menuntaskan kembali batas kedua negara baik batas darat, laut, maupun batas-batas yang berhubungan dengan negara lain seperti Singapura. Pemerintah juga harus melakukan tindakan tegas terhadap kebudayaan Indonesia dengan cara mulai membuat hak paten terhadap warisan budaya yang dimiliki bangsa, membuat program-program yang berorientasi pada pelestarian kebudayaan sehingga masyarakat Indonesia mengenali budayanya sendiri ditengah gempuran budaya barat, dan gencar melakukan promosi kebudayaan Indonesia ke dunia Internasional. Sebagai masyarakat Indonesia yang menjunjung nilai luhur Pancasila seharusnya dapat mengontrol emosi terhadap kata-kata provokatif, dapat menyikapinya dengan bijak, serta tidak melakukan tindakan berlebihan dan kekerasan. Kata-kata provokatif itu hendaknya dijadikan cerminan diri dan penyemangat agar segenap masyarakat Indonesia bersatu dan tidak terpecah belah untuk memajukan Indonesia ke arah yang lebih baik dan menunjukkan kepada mereka bahwa Indonesia bisa.

Refrensi:
1kbrikualalumpur.org, (2010), Pidato Presiden RI Mengenai  Dinamika Hubungan Indonesia-Malaysia, [online] available from: http://www.kbrikualalumpur.org/web/index.php?option=com_content&view=article&id=475:pidato-presiden-ri-mengenai-dinamika-hubungan-indonesia-malaysia&catid=58Sabtu  [accesed at 19 November 2011]
2nasional.inilah.com, (2011), 10 TKI Tewas Disiksa Majikan dalam Lima Tahun, [online] available from: http://nasional.inilah.com/read/detail/1649842/10-tki-tewas-disika-majikan-dalam-lima-tahun [accesed at 19 November 2011]
3wikipedia.org, (2011), Hubungan Indonesia dengan Malaysia, [online] available from: http://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan_Indonesia_dengan_Malaysia [accesed at 18 November 2011]
4wikipedia.org, (2011), Konfrontasi Indonesia-Malaysia, [online] available from: http://id.wikipedia.org/wiki/Konfrontasi_Indonesia-Malaysia [accesed at 18 November 2011]
5wikipedia.org, (2011), Sentimen anti-Malaysia di Indonesia, [online] available from: http://id.wikipedia.org/wiki/Sentimen_anti-Malaysia_di_Indonesia [accesed at 19 November 2011]
6kbrikualalumpur.org, (2010), Pidato Presiden RI Mengenai  Dinamika Hubungan Indonesia-Malaysia, [online] available from: http://www.kbrikualalumpur.org/web/index.php?option=com_content&view=article&id=475:pidato-presiden-ri-mengenai-dinamika-hubungan-indonesia-malaysia&catid=58Sabtu  [accesed at 19 November 2011]


Annisa Eka Rahma
1112003001
Teknik Industri