Tuesday, January 3, 2012

The Dosen Phenomenon


10% dana yang memaju-mundurkan pembangunan di Indonesia
(ditulis oleh Ahdiyatul Muamaliyah)

Berita bahwa pembangunan di Indonesia tidak merata sudah terasa kuno didengar. Namun pernahkah Anda mendengar bahwa pembangunan di Indonesia hanya maju mundur?
Indonesia bercita-cita untuk membangun masyarakat madani. Menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif individu dan masyarakat berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang, dan bukan nafsu atau keinginan individu.[1] Namun bagaimana bila pelaksanaan proyek pemerintah malah menjadi sasaran empuk untuk memuaskan nafsu atau keinginan individu?
Dalam suatu rapat pemerintah daerah, siapapun mereka yang mengajukan usulan untuk membangun atau memperbaiki program, infrastruktur daerah, atau fasilitas umum, akan mendapatkan uang komisi sebagai penghargaan karena dianggap telah menyampaikan aspirasi rakyat. Tentunya uang komisi yang diberikan tidaklah sedikit. Setidaknya uang tersebut bisa mereka gunakan untuk membeli kebutuhan sekunder atau bahkan tersier. Namun bagi mereka yang merasa tak puas dengan uang komisi yang diberikan, mereka akan mencari kesempatan untuk mendapatkan uang lebih -walau dengan cara yang kotor- untuk memuaskan nafsu mereka. Sayangnya, manusia takkan pernah puas.
Ketika ada program pembangunan atau perbaikan infrastruktur, beberapa orang yang berkutat di dalamnya menganggap hal itu sebagai lahan menuai rejeki. Bukannya menjaga amanah yang diberikan, mereka yang dipercaya untuk menangani program pembangunan tersebut malah mencari kesempatan untuk mengambil 10 % uang anggaran proyek baik itu dengan jalan mark up ataupun pemalsuan bukti transaksi. Di lingkungan birokrasi pemerintahan, mereka disebut sebagai ‘Dosen’ (Sedoso Persen). Sedoso adalah bahasa Jawa yang artinya sepuluh. Angka 10% sangatlah besar karena dana proyek bukanlah bernilai puluhan juta lagi, melainkan milyaran. Maka jangan heran bila APBN Indonesia selalu tergerus arus keserakahan warganya sendiri.
Para ‘Dosen’ sangat menyukai proyek pemerintah yang besar. Misalnya ketika ada proyek pembangunan jalan, dana yang digunakan dalam pelaksanaan proyek itu mereka mark up atau bukti transaksinya akan mereka palsukan. Dana yang tertera dalam proposal proyek akhirnya jauh lebih besar dari angka yang benar-benar digunakan dalam pembangunan.
Apa akibat dari pemalsuan data di proposal proyek tersebut?
Akibatnya, tokoh yang paling pusing dalam proyek itu adalah: kontraktor. Karena keterbatasan dana yang diberikan kepada kontraktor, akhirnya, mereka pun membelikan material yang kualitasnya biasa saja untuk meminimalisir dana yang terpakai. Akibatnya, kualitas jalan yang dibuat pun tak memenuhi standar. Jalan yang dibangun hanya akan bertahan maksimal 3-5 tahun. Setelah itu, jalan akan berlubang, retak, dan bergelombang. Hal itu akan membahayakan pengguna jalan. Kemudian pada saatnya nanti akan ada usulan untuk memperbaiki jalan tersebut. Jika usulan itu dipenuhi pemerintah tanpa mengoreksi proyek sebelumnya, ‘Dosen-dosen’ pun akan memanfaatkan kesempatan itu (lagi) untuk mengeruk untung.
Sutarmadji, Sekretaris PemDa Tegal mengatakan, “Itulah mengapa pembangunan di Indonesia hanya berjalan maju-mundur”.
Bangun, rusak, perbaiki, bangun lagi, rusak lagi, perbaiki lagi. Siklus itulah yang menimbulkan stagnasi dan tidak meratanya pembangunan di Indonesia. Pembangunan di Indonesia hanya bergerak maju mundur. Atau lebih tepatnya hanya berputar-putar dalam suatu siklus yang berubah menjadi lingkaran setan.
Bila diumpamakan, ‘Dosen’ di dalam tubuh pembangunan Indonesia bagaikan rayap yang menggerogoti kayu. Bila kayu terus dibiarkan tergerogoti tanpa adanya usaha pemberantasan, ya kita tinggal menunggu lapuknya saja.


Mengapa bisa terjadi fenomena ‘Dosen’di dalam tubuh birokrasi pemerintahan?
“Kriminalitas tidak hanya terjadi karena niat pelakunya, tetapi juga karena adanya kesempatan”. Begitulah Bang Napi selalu mengingatkan.
Lemahnya pengawasan pihak berwajib terhadap jalannya roda pemerintahan menjadikan kesempatan lebih lebar. Ditambah lagi dengan preferensi pemerintah pusat terhadap data yang ada. Pemerintah pusat hanya mengoreksi data tertulis tanpa melihat fakta yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu, jika kita ingin membasmi ‘Dosen-Dosen’ yang ada, maka harus ada usaha untuk menutup rapat kesempatan tersebut dengan cara meningkatkan kualitas dan kuantitas pengoreksian dan pengawasan terhadap proyek pemerintah. Dengan begitu, diharapkan dapat meminimalisir kecurangan yang ada.
Lebih jauh lagi, usaha pemberantasan ‘Dosen’ itu diharapkan dapat berperan aktif dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia. Karena jika setiap proyek pemerintah dananya terus digerogoti oleh ‘Dosen-Dosen’ yang ada, kemudian berakibat pada rendahnya kualitas hasil proyek, dan akhirnya berimbas pada kelancaran aktivitas masyarakat baik ekonomi, sosial dan budaya.
Jika fasilitas umum yang ada di Indonesia memadai dan nyaman digunakan, kelancaran aktivitas masyarakat pun dapat ditunjang. Hal ini berpengaruh juga terhadap penciptaan masyarakat madani karena untuk mewujudkan sebuah masyarakat madani, diperlukan prasyarat kondisi antara lain sistem politik yang demokratis, faktor pendidikan yang memadai bagi seluruh warganya, sehingga mereka tahu mana hak dan kewajibannya, penegakan supremasi hukum, ekonomi yang kuat, kondisi keamanan yang stabil dan nyaman, dan faktor-faktor lainnya.[2]
Apabila usaha pembasmian ‘Dosen’ telah dijalankan dengan baik, selanjutnya adalah tugas ahli teknik industri, bekerja sama dengan ahli teknik metalurgi untuk membuat suatu material yang tahan lama, tahan gempa, dan tahan terhadap cuaca buruk. Material ini nantinya digunakan dalam membangun fasilitas umum seperti jalan raya, jembatan, sekolah, sampai telepon umum. Dengan penggunaan material ini, diharapkan dapat meminimalisir pengeluaran pemerintah dalam membangun infrastruktur di Indonesia.


[1] Ubaedillah, A., dkk., (2011).  Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.  Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
[2] http://www.anneahira.com/pengertian-masyarakat-madani.htm (diakses pada tanggal 29 Desember 2011)

No comments:

Post a Comment